DEMOKRATISASI PENDIDIKAN

PERSPEKTIF  PENDIDIKAN BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Sebagai Aplikasi Kebijakan Internasional Education For All (EFA)

Oleh:

Nadiroh (Dosen Program Studi PPKN, Jurusan Ilmu Sosial Politik FIS UNJ)

Dasar hukum  pendidikan inklusif adalah  Pasal 31 UUD 1945, dikatakan  bahwa setiap warga negara berhak untuk memperoleh pendidikan. UUSPN no. 20 tahun 2003 setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang bermutu (pasal 5:1), setiap peserta didik berhak memperoleh pendidikan yang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya (Pasal 12:1), dan Pasal 32 tentang pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus. Untuk itu maka prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah adalah penuntasan program wajib belajar.

Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar sembilan tahun disemangati oleh seruan Internasional Education For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015. seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Selanjutnya melalui SK Mendiknas No. 002/U/1986 telah dirintis pengembangan sekolah reguler yang melayani penuntasan Wajib Belajar bagi anak berkebutuhan khusus (Mengenal Pendidikan Terpadu, 2004: v).

Mengacu tataran normatif dan kebijakan nasional, maka Pendidikan inklusif merupakan keniscayaan dan sekaligus sebagai konsekuensi dari penerapan HAM di Indonesia, karena  anak berkebutuhan khusus  memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang dapat membentuk karakter warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab, oleh karenanya mereka tidak boleh terisolasi dengan teman sebayanya.

Semua komponen pendukung dan penentu  keberhasilan  pembelajaran di kelas (guru, sarana dan prasarana belajar) perlu dipersiapkan  dan dikondisikan  agar ABK tidak diperlakukan  diskriminatif. Efektivitas keberhasilan program pembelajaran pada program pendidikan inklusif ini sangat ditentukan oleh dukungan semua pihak termasuk keselarasan pandangan terhadap  ABK, antara pemerintah, guru dan masyarakat 

  1. I. PENDAHULUAN

Kebutuhan  masyarakat ini selaras dengan era globalisasi yang menuntut kemandirian untuk dapat mengikuti kebutuhan perkembangan jaman, dan mengejar ketertinggalan, sebagaimana diungkap oleh Tilaar (2005:15) bahwa kehidupan global dalam dunia terbuka  dengan perdagangan bebas serta  kerjasama regional memerlukan manusia-manusia  yang berkualitas. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang bisa bersaing  di dalam arti yang baik. Di dalam persaingan diperlukan kualitas individu. [1] Pendidikan dalam milenium ketiga tidak terlepas dari suatu gerakan global, yaitu mewujudkan kehidupan bersama yang lebih demokratis. Sebenarnya masyarakat Indonesia tidak asing dengan konsep kehidupan dmokrasi. Pada beberapa suku bangsa di Nusantara ini, kehidupan demokrasi merupakan bagian dari kehidupan bersama manusia Indonesia. Memang pada beberapa daerah yang mengenal kehidupan kerajaan, mugkin saja kehidupan demokrasi tersebut mulai pudar. Di dalam sejarah perkembangan kehidupan bernegara di nusantara, sejak Proklamasi sebenarnya kita bercita-cita untuk mewujudkan suatu masyarakat yang demokratis. Namun, di dalamn pelaksanaannya, kehidupan  bersama yang demokratis tersebut mengalami banyak kendala dan kegagalan. Di dalam perkembangannya dapat diidentifikasikan empat masa atau gelombang dari perkembangan proses demokratisasi, yaitu: (1) demokrasi dan desentralisasi, (2) demokrasi     dan       partisipasi, (3) demokrasi     dan  pemberdayaan

(empowerment), (4) demokrasi dan good governance (pemerintahan yang bersih dan terbuka). Keempat perkembangan demokrasi ini mempunyai dampak terhadap proses pendidikan dan manajemen pendidikan. [2]

Untuk itu maka ditetapkanlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat 2 dan pasal 3 dikatakan bahwa: Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang  Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, mandiri, dan menjadi Warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab.[3] Adapun standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.  Sedangkan standar kompetensi lulusan pada jenjang pendidikan menengah umum bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta ketrampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.[4]

Dalam upaya mencerdaskan bangsa sebagai amanat dari UU di atas maka prioritas utama Pembangunan Nasional adalah penuntasan program wajib belajar. Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar sembilan tahun disemangati oleh seruan Internasional Education For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015. seruan ini senafas dengan semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan, UUSPN no. 20 tahun 2003, pasal 5 ayat 1:” setiap warga negara berhak memperolah pendidikan yang bermutu”, pasal 12 ayat 1 :” setiap peserta didik berhak memperoleh pendidikan yang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya”, pasal 32 tentang pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus. Selanjutnya melalui SK Mendiknas No. 002/U/1986 telah lama sudah dirintis pengembangan sekolah reguler yang melayani penuntasan Wajib Belajar bagi anak berkebutuhan khusus.[5]

Pada tahun 70-an, gencar upaya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di dalam pembangunan masyarakat dan bangsanya. Sebenarnya gerakan partisispasi masyarakat adalah wujud dari keinginan untuk mengembangkan demokrasi melalui proses desentralisasi. Dimana-mana diupayakan, antara lain mengenai perlunya perencanaan dari bawah (bottom-up) dengan mengikutsertakan masyarakat di dalam proses perencanaan dan pembangunan masyarakatnya. Di dalam lingkungan pendidikan  juga mulai diupayakan partisipasi masyarakat di dalam membangun pendidikannya. Sayang sekali upaya tersebut terbentur kepada sistem yang sentralistik. Di dalam dunia pendidikan dikenal bahwa sistem pendidikan hanya mengenal satu pola atau satu manajemen  sebagaimana diungkap oleh Tilaar (2002: 475).

Di dalam era reformasi, dengan belajar dan pengalaman-pengalaman masa Orde baru. Maka partisipasi dan pemberdayaan masyarakat melalui desentralisasi ternyata tidak berhasil apabila pemimpin dan pemerintah merupakan pemerintahan yang tidak bersih. Oleh sebab itu, di dalam era reformasi proses desentralisasi dengan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat haruslah disertai pemerintahan yang bersih dan terbuka. Inilah sebenarnya cita-cita yang diinginkan oleh Undang-undang Otonomi Daerah.

Sistem pendidikan nasional yang telah mematikan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat perlu diubah, antara lain dengan melihat kembali lemabaga-lembaga pendidikan agar merupakan suatu bagian dari good governance. Hal ini berarti lembaga-lembaga pendidikan, baik formal maupun non formal, haruslah berada di dalam suatu organisasi  yang transparan, serta mengikutsertakan masyarakat yang memilikinya. Dengan demikian, pendidikan merupakan bagian dari proses demokratisasi di dalam masyarakat Indonesia  sebagaimana diungkap oleh Tilaar (2002: 476).

.                 Terkait dengan anak berkebutuhan khusus, Balitbang, 1996 melaporkan  bahwa informasi mengenai gangguan/ kelainan anak sangat penting, sebab dari beberapa penelitian terbukti bahwa anak anak yang prestasi belajarnya rendah cenderung memiliki gangguan/ kelainan. Survei terhadap 696 siswa SD dari empat provinsi di Indonesia yang rata-rata nilai rapornya kurang dari 6.0 (enam) ditemukan bahwa 71,8% mengalami disgrafia, 66,8%, disleksia, 62,2% diskalkulia, juga 33% mengalami gangguan emosi dan perilaku, 31% gangguan komunikasi, 7,9 % cacat/ kelainan anggota tubuh, 8,8% gangguan gizi dan kesehatan, 6% gangguan penglihatan, dan 2% gangguan pendengaran. [6]

Di samping informasi modalitas peserta didik, guru juga berperan strategis dalam  program pendidikan inklusif. Sebagaimana diberitakan di surat kabar, “ Program inklusif tuntut kemampuan guru “ itu judul tulisan di Surat Kabar Pikiran Rakyat Bandung. Dalam tulisannya di Surat Kabar tersebut Sunaryo Kartadinata sebagai Presiden Indonesian Society for Special Needs Education (ISSE), menanggapi rencana Dinas Pendidikan Provinsi Jawa barat yang akan mengembangkan program pendidikan inklusif bagi anak-anak cacat, mengatakan bahwa perlu banyak persiapan antara lain Kemampuan guru. Kemampuan guru  untuk memiliki pengetahuan dan sikap terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus  bahwa mereka perlu dihargai dan perlu pelayanan individual.

Data terkini tahun 2005 di DKI Jakarta terdapat 262 jumlah  siswa yang mengikuti program pendidikan  Terpadu/inklusi  yang tersebar di lima wilayah DKI Jakarta. Adapun rinciannya sebagai berikut: Jakarta Pusat:  (26 orang Siswa SD, 2

siswa SMP, dan 1 siswa SMK); Jakarta  Utara ; (22 siswa SD ); Jakarta Barat: ( 32 siswa SD, dan 10 siswa SMP); jakarta selatan: ( 80 siswa SD, dan 5 siswa SMP, dan 6 siswa SMA); Jakarta Timur: ( 5 siswa TK, 68 siswa SD, 7 siswa SMP, dan 5 siswa SMK).

Berdasarkan acuan normatif dan tataran empiris yang dijelaskan di atas maka Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas, telah menyusun berbagai Kebijakan Nasional dengan ditetapkannya 8 (delapan) buku Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/inklusif yaitu: (1) mengenal Pendidikan Terpadu/ inklusi; (2) Identfikasi anak berkebutuhan khusus; (3) Pengembangan Kurikulum; (4) Pengadaan dan Pembinaan; (5) pengadaan dan pengelolaan sarana dan prasarana; (6) kegiatan belajar mengajar; (7) manajemen sekolah;  dan (8) pemberdayaan masyarakat.

Fokus tulisan ini adalah pada demokratisasi pendidikan dalam perspektif pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sebagai aplikasi  kebijakan Internasional Education For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000, penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015.

II.  KAJIAN TEORETIK

  1. Demokratisasi Pendidikan bagi anak

Istilah demokratisasi banyak dipakai dalam pemahaman kehidupan berpolitik. Demokrasi bukan saja permasalahan pelembagaan politik, namun meliputi wilayah moral tentang kesediaan setiap pihak untuk bisa saling belajar bersama antarwarga bangsa, agama, partai, etnis hingga perkampungan atau daerah tertentu mengenai hidup bersama dalam sebuah tatanan negara bangsa. Dalam konteks pendidikan demokratisasi terkait dengan demokrasi dalam konteks kehidupan sosial, yang bisa menyangkut persoalan ras, keadilan, persamanaan, dan kesempatan. Hal tersebut selaras dengan penjelasan Riza Noer Arfani (1996) bahwa demokrasi/demokratisasi bisa dilihat sebagai proses atau upaya penciptaan: (1) lembaga-lembaga yang beroperasi dengan prinsip-prinsip demokrasi; lembaga-lembaga yang

Alice Miller dalam bukunya The Drama of The Gifted Child, dikatakan bahwa: (1) semua anak dilahirkan untuk tumbuh, berkembang, untuk hidup, mencintai dan untuk dapat mengungkapkan kebutuhan serta perasaan-perasaan mereka, demi perlindungan diri mereka; (2) demi perkembangan jiwa mereka, anak-anak memerlukan rasa hormat dan perlindungan dari orang dewasa yang akan menanggapi mereka dengan serius, mencintai mereka, dan secara jujur membantu mereka untuk berorientasi kepada dunia; jika kebutuhan-kebutuhan vital itu tidak terpenuhi, dan si anak malah dianiaya demi memenuhi kebutuhan orang dewasa dengan cara dieksploitasi, dipukuli, dihukum, dimanipulasi, dimanfatkan, diabaikan, atau dikhianati tanpa adanya intervensi dari seorang pun saksi, maka integritas mereka akan rusak selamanya.

Sebagaimana dijelaskan dalam Konvensi Hak Anak, bahwa keluarga sebagai lingkungan alamiah bagi pertumbuhan dan kesejahteraan semua anggotanya dan terutama anak-anak, harus diberikan perlindungan dan bantuan memikul tanggung jawabnya di dalam masyarakat Anak untuk perkembangan kepribadiannya sepenuhnya   bisa dilakukan dalam lingkungan keluarganya dalam suasana kebahagiaan, cinta dan pengertian. Pasal 13, anak harus memiliki hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua macam pemikiran, tanpa memperhatikan perbatasan, baik secara lisan, dalam bentuk tertulis ataupun cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain apa pun pilihan anak. Pasal 17, anak mempunyai akses ke informasi dan bahan dari suatu diversitas sumber-sumber nasional dan internasional; terutama yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan sosial, spiritual dan kesusilaannya dan kesehatan fisik dan mentalnya. Ps 19 Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selama dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak. Negara-negara Pihak mengakui bahwa seorang anak yang cacat mental atau cacat fisik harus menikmati kehidupan yang utuh dan layak, dalam keadaan-keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri dan memberikan fasilitas partisipasi aktif si anak dalam masyarakat. Ps 23, Negara-negara Pihak mengakui hak anak cacat atas perawatan khusus dan harus mendorong dan menjamin, dengan tunduk pada sumber-sumber yang tersedia, pemberian kepada anak yang memenuhi syarat dan mereka yang bertanggung jawab atas perawatannya, bantuan yang untuknya permintaan diajukan dan

  1. 2. Konsep Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan yang secara  formal  ditegaskan dalam pernyataan Salamanca pada Konferensi Dunia tentang  Pendidikan Berkelainan bulan Juni 1994, bahwa prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan  yang mungkin   ada pada mereka.[7]

Pendidikan inklusif memiliki empat karakteritis makna yaitu pendidikan inklusif berarti: (1) proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara- cara merespon keragaman individu; (2) memperdulikan cara-cara untuk meruntuhkan hambatan-hambatan anak dalam belajar; (3) anak kecil yang hadir (di sekolah), berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya; dan (4). diperuntukkan utamanya bagi anak-anak yang tergolong marginal, ekslusif, dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar. [8]

Landasan penyelenggaraan Pendidikan Inklusif adalah; (1) Filosofis Pancasila; (2) Yuridis Internasional Deklarasi Salamanca (UNESCO, 1994) sebagai penegasan kembali Deklarasi PBB tahun 1948 dan berbagai deklarasi lanjutan dan peraturan standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan yang ada, landasan Yuridis Nasional yaitu UU No. 20 tahun 2003; (3) Empiris yaitu dari berbagai hasil penelitian di beberapa Negara maju memberikan rekomendasi bahwa pendidikan inklusif berdampak positif baik terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan dan teman sebayanya; (4) Paedagogis pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 peserta didik dibentuk menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.[9]

Model Pendidikan Inklusif Indonesia mengacu pada model yang mengasumsikan bahwa inklusif sama dengan mainstreaming (Bos & Schum,2000), yaitu: (1) kelas reguler (inklusif penuh); (2) kelas reguler dengan cluster; (3) kelas reguler  dengan full out; (4) kelas reguler dengan cluster dan full out; (5) kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian; (6) kelas khusus penuh. Prinsip pembelajaran yang diterapkan dalam program ini, di samping prinsip umum juga prinsip  khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang  dalam proses pertumbuhan /perkembangannya secara  signifikan (bermakna)  mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial, emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka  memerlukan pelayanan pendidikan khusus.

Penyelenggaraan pendidikan inklusi masih menjadi kontroversi, untuk itu perlu dijelaskan  gambaran alasan-alasan baik yang pro maupun yang kontra.

Pro Inklusi, para pendukung konsep pendidikan inklusi mengajukan argumen antara lain sebagai berikut ; (1) belum banyak bukti empiris yang mendukung asumsi bahwa layanan pendidikan khusus yang diberikan di luar kelas reguler menunjukkan hasil yang lebih positif bagi anak; (2) biaya sekolah khusus relatif lebih mahal daripada sekolah umum; (3) sekolah khusus mengharuskan penggunaan label berkelainan yang dapat berakibat negatif pada anak; (4) banyak anak berkelainan yang tidak mampu memperoleh pendidikan karena tidak tersedia sekolah khusus yang dekat; dan (5) anak berkelainan harus dibiasakan tinggal dalam masyarakat bersama masyarakat lainnya.

Kontra inklusi, para pakar yang mempertahankan penyediaan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan berargumen sebagai berikut : (1)_peraturan perundangan yang berlaku mensyaratkan bahwa bagi anak berkelainan disediakan layanan pendidikan yang bersifat kontinum; (2) hasil penelitian mendukung gagasan perlunya berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan; (3) tidak semua orangtua menghendaki anaknya yang berkelainan berada di kelas reguler bersama teman-teman seusianya yang normal; dan (3) pada umumnya sekolah reguler belum siap menyelenggarakan pendidikan inklusi karena keterbatasan sumber daya pendidikannya.

Inklusi moderat, melihat kontoversi yang lebih bersifat filosofis, Vaughn, Bos, dan schumn (2000), mengemukakan bahwa dalam praktik, istilah inklusi sebaiknya dipakai bergantian dengan istilah mainstreaming yang secara teori diartikan sebagai penyediaan layanan pendidikan yang layak bagi anak berkelainan sesuai dengan kebutuhasn individualnya. Penempatan anak berkelainan harus dipilih yang paling bebas diantara delapan alternatif di atas, berdasarkan potensi dan jenis/ tingkat kelainannya. Penempatan ini juga bersifat sementara, bukan permanen, dalam arti bahwa siswa berkelainan dimungkinkan secara luwes pindah dari satu alternatif ke alternatif lainnya, dengan asumsi bahwa intensi kebutuhan khususnya berubaha-ubah. Filosofinya adalah inklusi, tetapi dalam praktiknya menyediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Model ini juga sering disebut inklusi moderat, dibandingkan dengan inklusi radikal seperti yang diperjuangkan oleh mereka yang proinklusi. [10]

2.1.      Peserta Didik

Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif memiliki peserta didik yang berbeda dengan sekolah lain umumnya. Ada tiga hal yang perlu dibahas sekilas tentang peserta didik sekolah inklusi, yaitu: (1) pengertian peserta didik berkelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, (2) karakteristik/kebutuhan khusus peserta didik, dan (3) tingkat  kecerdasan.[11] Adapun pengelompokannya sebagai berikut (1) Tunanetra atau gangguan penglihatan; (2) Tunarungu atau gangguan pendengaran; (3) Tunawicara atau gangguan komunikasi; (3) Tunagrahita atau gangguan kecerdasan;(4) Tunadaksa atau gangguan fisik dan kesehatan; (4)Tunalaras atau gangguan emosi dan perilaku;(5) Berkesulitan belajar;(6) Lamban belajar; (7) Autistik; (8) Gangguan motorik; (9) Korban penyalahgunaan narkoba, dan (10) Gabungan dari dua atau lebih jenis-jenis di atas;

Di samping itu  peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga  memerlukan pendidikan khusus meliputi: (1) peserta didik dengan kecerdasan luar biasa, (2) peserta didik dengan kreativitas luar biasa, (3) peserta didik dengan bakat seni dan/atau olahraga luar biasa, dan/atau (4) gabungan dari dua atau lebih jenis-jenis di atas. Apabila ditinjau dari segi kecerdasan, peserta didik yang mebutuhkan pendidikan khusus dikelompokkan menjadi 3, yaitu : (1) kecerdasan di bawah normal, (2) kecerdasan normal dan, (3) kecerdasan di atas normal.

Karakteristik dan kebutuhan pembelajaran anak berkebutuhan khusus (ABK) (1) tuna netra ; (2) tuna rungu; (3) tuna daksa; (4) tuna grahita; (5) lamban belajar; (6) Anak berbakat; (7) Anak berkesulitan berlajar specific; (8) anak yang mengalami gangguan komunikasi; (8) Tuna laras. [12]

Program pengajaran individual (PPI) merupakan rencana pengajaran bagi seorang peserta didik. Semua peserta didik yang berkelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. PPI harus merupakan program yang dinamis artinya sensitif terhadap berbagai perubahan dan kemajuan peserta didik, untuk itu diperlukan guru khusus yang merupakan partner guru kelas dan guru mata pelajaran dalam upaya melayani anak yang berkebutuhan khusus agar potensi yang dimiliki berkembang optimal.

2.2.      Tenaga Pendidik/Guru

Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005, Bab VI Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan,  bagian kesatu tentang Pendidik, pasal 28, dikatakan bahwa pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani, rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kualifikasi akademik pendidikan minimum (D-IV) atau S1 sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan  dan sertifikat profesi guru.

Selanjutnya dijelaskan bahwa kompetensi guru meliputi kompetensi paedagogik,  kepribadian, profesional, dan sosial. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran,evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap,stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkanya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Kompetensi sosial adalah kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua / wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Selanjutnya apa itu kemampuan?, Stephen mengemukakan bahwa kemampuan merujuk pada suatu kapasitas individu untuk melakukan beberapa tugas dalam suatu pekerjaan[13]. Kemampuan adalah daya untuk melakukan suatu tindakan sebagai hasil dari pembawaan dan latihan (Munandar,1992: 17)[14]. Kemampuan adalah perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai kondisi yang diharapkan. Perilaku yang rasional merupakan wujud dari kemampuan seseorang. Berarti orang yang memiliki  suatu kemampuan adalah benar-benar orang yang mempunyai keahlian di bidangnya, atau dikenal dengan istilah “profesional” .

Jurnal terkemuka Manajemen Pendidikan, Educational Leadership edisi maret 1993 menurunkan laporan utama tentang Profesional seperti dikutip oleh  Dedi Supriadi (1998)[15] Menurut jurnal itu, untuk menjadi professional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal:

Pertama, guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya. Kedua, guru menguasai secara mendalam bahan / mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para sisiwa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar. Keempat, guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang diklakukannya, dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan yang salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa. Kelima, guru seyogyanya merupakan bagian dari masyrakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya kalau di kita, PGRI dan organisasi profesi lainnya.

Guru hendaknya juga memiliki kemampuan dalam memberikan motivasi.  prinsip motivasi agar peserta senang berada dalam lingkungan belajar, sehingga terbangun kondisi psikis  kemampuan diri (self-eduquacy) yang membawa kepuasan belajar dan mengacu pada percaya diri (self-confidency), untuk menjadi mandiri dan secara bertanggung jawab dalam mengambil keputusannya sendiri (Semiawan,2002 :123). Hal ini menunjukan bahwa belajar dan pembelajaran perlu bermakna bagi peserta didik. Sehingga  diungkap oleh Bobbi DePorter & Mike Hernachi (1999:9) dalam  SuperCamp ada tiga aspek penting yang dikembangkan dalam kurikulumnya agar belaja dapat dan harus menyenagkan yaitu tantangan fisik, ketrampilan akademik dan keterampilan dalam hidup. Belajar akan efektif kalau anda dalam keadaan “Fun”  demikian ungkapan dalam buku Revolusi Cara Belajar. [16]

Guru sebagai salah satu komponen dalam  sistem pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan siswa, memiliki peranan penting dalam menentukan arah dan tujuan dari suatu proses pembelajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut menguasai sejumlah kemampuan dan keterampilan yang berkaitan dengan proses pembelajaran, antara lain: (1) kemampuan menguasai bahan ajar, (2) kemampuan dalam mengelola kelas, (3) kemampuan dalam menggunakan metode, media,  dan sumber belajar; dan (4) kemampuan untuk melakukan penilaian baik proses maupun hasil.  Kemampuan guru ini dalam upaya mencapai prinsip belajar yang telah dicanangkan oleh  UNESCO  sebagai  empat pilar belajar.

2.3.      Pembelajaran

Prinsip pembelajaran pendidikan inklusif meliputi prinsip umum dan prinsip khusus, sedangkan prinsip umum [17]adalah: (1) motivasi. Guru harus senantiasa memberikan motivasi kepada siswa agar tetap memiliki gairah dan semangat yang tinggi dalam megikuti kegiatan belajar-mengajar; (2) latar/konteks. Guru perlu mengenal siswa secara mendalam, menggunakan contoh, memanfaatkan sumber belajar yang ada di lingkungan sekitar, dan semaksimal mungkin menghindari pengulangan-pengulangan materi pengajaran yang sebenarnya tidak terlalu perlu bagi anak; (3) keterarahan. Setiap akan melakukan kegiatan pembelajaran, guru harus merumuskan tujuan secara jelas, menyiapkan bahan dan alat yang sesuai, serta mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat; (4) hubungan sosial. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu mengoptimalkan interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan siswa, guru dengan siswa dan lingkungan, serta interksi banyak arah; (5)  belajar sambil bekerja. Dalam kegiatan pembelajaran, guru harus banyak memberi kesempatan kepada anak untuk melakukan praktek atau percobaan, atau menemukan sesuatu melalui pengamatan, penelitian dan sebagainya; (6)  individualisasi. Guru perlu mengenal kemampuan awal dan karakteristik setiap anak secara mendalam, baik dari segi kemampuan maupun ketidakmampuannya dalam menyerap materi pembelajaran, kecepatan maupun kelambatannya dalam belajar, dan perilakunya, sehingga setiap kegiatan pembelajaran masing-masing anak mendapat perhatian dan perlakuan yang sesuai; (7)  menemukan. Guru perlu mengembangkan strategi pembelajaran yang mampu memansing anak untuk terlibat secara aktif, bik fisik, mental, sosial, dan/emosional; (8) Prinsip pemecahan masalah. Guru hendaknya sering mengajkan berbagai peroalan/problem yang ada di lingkungan sekitar, dan anak dilatih untuk merumuskan, mencari data, menganalisis dan memecahkannya sesuai dengan kemampuannya.

Anak berbakat,  mengacu pada prinsip percepatan (Akselerasi) Belajar. Anak berbakat adalah anak yang memiliki kemampuan (intelegensi), Kreativitas, dan tanggung jawab (task commitment) terhadap tugas di atas anak-anak seusianya. Salah satu karakteristik yang sangat menonjl adalah mereka memiliki kecepatan belajar di atas kecepatan belajar anak seusianya. Dengan diterangkan sekali saja oleh guru, mereka telah dapat menangkap maksudnya: (1) Prinsip Pengayaan (Enrichment). Ada anak berbakat yang tidak tertarik dengan program percepatan belajar. Mereka kurang berminat mempelajari materi di atasnya (berikutnya) mendahului teman-temannya. Mereka merasa lebih enjoy dan fun dengan tetap mempelajari materi yang sama dengan teman sekelasnya, namun diperdalam dan diperluas dengan mengembangkan proses berpikir tingkat tinggi (analisis, sintesis, evaluasi, dan pemecahan masalah),tidak hanya mengembangkan proses berpikir tingkat rendah (pengetahuan dan pemahaman), karena anak berbakat lebih menonjol dalam proses berpikir tingkat tinggi tersebut.

Tunagrahita/Anak lamban belajar (slow learner).  (1) Prinsip kasih saying. Tunagrahita/ anak lamban belajar adalah anak yang mengalami kelainan/penyimpangan dalam segi intelektual (intelegensi), yakni intelegensinya di bawah rata-rata anak seusianya (dibawah normal). Akibatnya, dalam tugas-tugas akademik yang menggunakan intelektual, mereka sering mengalami kesulitan. Oleh karena itu kadang-kadang guru merasa jengkel karena diberi tugas yang menurut perkiraan guru sangat mudah sekalipun, mereka tetap saja kesulitan menyelesaikannya. Untuk mengajar anak tunagrahita/laban belajar membutuhkan kasih saying yang tulus dari guru. Guru hendaknya berbahasa yang lembut, berperangai sabar, rela berkorban, dan memberi contoh perilaku yangbaik, ramah, dan supel, sehingga siswa tertarik dan timbul kepercayaan, yang pada akhirnya bersemangat untuk melakukan saran-saran dari guru; (2) Prinsip Keperagaan. Kelemahan anak tunagrahita/laban belajar antara lain adalah dalam hal kemampuan berfikir abstrak. Mereka sulit membayangkan sesuatu. Dengan segala keterbatasannya itu, siswa tunagrahita/lamban belajar akan lebih mudah tertarik perhatiannya apabila dalam kegiatan belajar-mengajar menggunakan benda-benda konkrit maupun berbagai alat peraga (model) yang sesuai.

Hal ini menuntut guru agar dalam kegiatan belajar mengajar selalu mengaitkan relevansinya dengan kehidupan nyata sehari-hari. Oleh karena itu, anak perlu di bawa ke lingkungan yang nyata, baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, maupunlingkuangan alam. Bila tidak memungkinkan, guru dapat membawa alat peraga; (3) prinsip Habilitasi dan Rehabilitasi, meskipun dalam bidang akademik anak tunagrahita memiliki kemampuan yang terbatas, namun dalam bidang-bidang lainnya mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yangmasih dapat dikembangkan. Habilitasi adalah usaha yang dilakukan seseorang agar anak menyadari bahwa mereka masih memiliki kemampuan atau potensi yang dapat dikembangkan meski kemampuan atau potensi tersebut terbatas. Rehabilitasi adalah usaha yang dilakukan dengan berbagai bentuk dan cara, sedikit demi sedikit mengembalikan kemampuan yang hilang atau berfungsi optimal. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru hendaknya berusaha mengembangkan kemampuan atau potensi anak seoptimal mungkin, melalui berbagai cara yang dapat ditempuh.

Senada dengan prinsip pembelajaran di atas UNESCO memperkenalkan Empat pilar belajar dalam  Soedijarto (2004: 10-18) [18] yaitu  Learning to know,  seperti telah dikemukakan oleh Philip Phoenix, proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan ways of knowing atau mode of inquire telah memungkinkan siswa untuk terus belajar dan mampu memperoleh pengetahuan baru. Karena itu, hakekat dari Learning to know adalah proses pembelajaran yang memungkinkan siswa menguasai tehnik menemukan pengetahuan dan bukan semata-mata hanya memperoleh pengetahuan. Siklus pembelajaran yang dikembangkan oleh Kolb Yang dikenal dengan Theory Building.[19]

Stage –1

Concrete

Experience

Stage – 4                                                                          Stage – 2

Active                                                                              Reflective

Experimentation                                                          Observation

Stage – 3

Theory

Building

Learning to do yaitu pembelajaran untuk mencapai    kemampuan untuk melaksanakan  controlling, monitoring, maintaining, designing, organizing. Belajar ini terkait dengan belajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkret yang tidak hanya terbatas  kepada penguasaan   keterampilan   mekanistis melainkan  meliputi   kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi konflik, menjadi  pekerjaan yang penting.

Learning to live together yaitu  membekali  kemampuan untuk hidup bersama dengan orang lain yang berbeda dengan penuh toleransi, saling pengertian dan tanpa prasangka. Dalam hubungan ini, prinsip relevansi sosial dan moral. Learning to be, keberhasilan pembelajaran untuk mencapai pada tingkatan ini diperlukan dukungan keberhasilan dari pilar pertama, kedua dan ketiga, yaitu : tiga pilar yaitu learning to know, learning to do, dan learnig to live together ditujukan bagi lahirnya  peserta didik yang mampu mencari informasi dan  menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu  memecahkan masalah, dan mampu bekerja sama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menumbuhkan  rasa percaya diri pada peserta didik,  sehingga menjadi manusia yang mampu mengenal dirinya, yakni  manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri.

Kolb (1984: 38) dalam Malcolm Tight (2002: 24) belajar adalah proses  pengetahuan dikreasi melalui transformasi pengalaman. Belajar adalah kebutuhan dalam kehidupan manusia, sama pentingnya seperti bekerja, dan berteman. Seperti dikemukakan oleh David Kolb (1986) “ belajar adalah cara adaptasi utama manusia, jika kita tidak belajar maka tidak bisa survive (bertahan hidup), dan kita tentu saja tidak akan berhasil baik. Belajar itu kompleks dan meliputi berbagai aspek kehidupan. Semua kegiatan manusia memiliki dimensi belajar. Belajar dilakukan secara terus menerus, informal, dengan setting yang berbeda, di lingkungan keluarga, mengisi waktu senggang, melalui kegiatan-kegiatan masyarakat, dan setiap aktivitas yang bersifat praktis. Sementara menurut Jarvis (1990:196) dalam Malcolm Tight (2002: 25 ) bahwa  belajar adalah (1) ada tidaknya perubahan perilaku permanen sebagai hasil dari pengalaman; (2) perubahan relatif sering terjadi yang merupakan hasil dari praktek pembelajaran; (3) proses dimana pengetahuan itu digali melalui transformasi pengalaman; (4) proses transformasi pengalaman yang menghasilkan pengetahuan, skill, dan atttitude. dan (5) mengingat informasi. Konsep belajar ini relevan dengan pembelajaran pada pendidikan inklusif yang juga menekankan pada ranah afeksi dan perilaku. Bagaimana cara guru menerapkan konsep belajar ini dalam realisasi pembelajaran di kelas, diperlukan strategi pembelajaran. [20]

Dick dan Carey (1985) seperti dikutip Suparman  (1997) [21] mengatakan bahwa suatu strategi  pembelajaran menjelaskan komponen-komponen umum dari suatu set bahan pembelajaran dan prosedur-prosedur yang akan digunakan bersama bahan-bahan tersebut untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa.Ia menyebutkan lima komponen umum dan strategi pembelajaran sebagai berikut : (1) kegiatan pra-pembelajaran; (2) penyajian informasi; (3) partisipasi siswa; (4) tes; dan (5)  tindak lanjut. Kelima komponen tersebut bukanlah satu-satunya rumusan strategi pembelajaran. Tiga komponen yang dibuat merupakan suatu bentuk rumusan strategi pembelajaran.

III. PEMBAHASAN

Pendidikan Inklusif sebagai Keniscayaan bagi anak berkebutuhan khusus, sebagai proposisi yang dirumuskan dari kajian teori maupun fakta empiris di lapangan. Acuan normatif, dan tataran empiris menunjukkan bukti bahwa  penddikan inklusif sebagai program terobosan  dalam  mengatasi persoalan klasik yang selama ini  menjadi fenomena sosial  yang kompleks, yaitu anak yang   berkebutuhan    khusus dianggap “aib” bagi keluarga, sehingga keluarga dan masyarakat memandang  remeh dan bahkan mereka   kurang mendapatkan perlakuan yang manusiawi. Untuk itu maka   ada upaya   gerakan     meningkatkan martabat   anak berkebutuhan khusus untuk dapat memperoleh hak-haknya sebagai Warga Negara Indoneasia, yang dalam  hal ini adalah hak memperoleh pendidikan.

Dalam Bab Pendahuluan dijelaskan bahwa penuntasan program wajib belajar   sembilan tahun disemangati oleh seruan Internasional Education For All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO. semangat dan jiwa Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan, UUSPN no. 20 tahun 2003, pasal 5 ayat 1:” setiap warga negara berhak memperolah pendidikan yang bermutu”, pasal 12 ayat 1 :” setiap peserta didik berhak memperoleh pendidikan yang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya”, pasal 32 tentang pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus. Selanjutnya melalui SK Mendiknas No. 002/U/1986 telah lama sudah dirintis pengembangan sekolah reguler yang melayani penuntasan Wajib Belajar bagi anak berkebutuhan khusus.[22]

Mengacu pada dasar hukum yang berlaku  dan teori yang dikembangkan dalam Bab II, maka pembehasan makalah ini  pada kendala yang dihadapi di Sekolah dalam mengimplementasikan Program Pendidikan inklusif, khususnya dalam proses pembelajaran di kelas oleh guru.

Guru  dalam pendidikan inklusif dikenal dengan nama  Guru Pendidikan Khusus (GPK), tugasnya sebagai berikut: (1) Menyusun instrumen asesmen pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran. (2) Membangun sistem koordinasi antara guru, pihak sekolah dengan orang tua siswa.; (3) Memberikan bimbingan kepadaanak-anak berkebutuhan khusus, sehingga anak mampumengatasi hambatanatas kesulitannyadalam belajar; dan (4) Memberikan bantuan (sharing pengalaman) kepada guru kelas dan/atau guru mata pelajaran agar mereka dapat memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Guru Pendidikan Khusus (GPK) harus memiliki tiga kemampuan, yaitu kemampuan  umum, kemampuan dasar,dan kemampuan khusus.

Kemampuan Dasar (basic ability): (1) memahami dan mampu mengidentifikasi anak kebuuhan khusus; (2) Memahami konsep dan mampu mengembangkan alat asesmen serta melakukan asesmen anak berkebutuhan khusus; (3) Mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus; dan (4) Kemampuan khusus (specific ability)

Kemampuan khusus merupakan kemampuan keahlian yang dipilih sesuai dengan minat masing-masing tenaga kependidikan. Pada umumnya masing-masing guru memiliki satu kemampuan khusus (specific ability). Kemampuan tersebut adalah sebagai berikut : (1) mampu melakukan modifikasi perilaku; (2) mengusai konsep dan keterampilan (3) pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan penglihatan; (4) Mengusai konsep dan keterampillan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan pendengaran/komunikasi; (5) Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan intelektual; (6) Mengusai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan angguota tubuh dan gerakan; (7) Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan perilaku dan sosial; dan (8) Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami kesulitan belajar.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa guru yang direkrut dalam program inklusif adalah guru yang tidak dipersiapkan khusus untuk kebutuhan anak berkebutuhan khusus.  Mereka adalah guru mata pelajaran umum yang diberi informasi bahwa di kelasnya ada anak yang memiliki kebutuhan husus, karenanya harus sabar dalam melayani mereka. Mereka tidak pernah memperoleh pelatihan, pengarahan dan bahkan pendidikan yang dipersiapkan untuk itu. Sementara di kelas sesuai dengan mata pelajarannya tidak ada sharing pengalaman atau berbagi tugas dengan guru khusus, yang seyogyanya ada di kelas bersama mereka.

Seyogyanya guru pendidikan khusus perlu memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran di kelas inklusif secara umum maupun khusus. Namun demikian,karena di dalam kelas inklusif terdapat anak berkelainan yang mengalami kelainan/penyimpangan baik fisik. Intelektual, sosial, emosional, dan/atau sensoris neurologis dibanding dengan anak pada umumnya, maka guru yang mengajar di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum pembelajaran juga harus mengiplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.

Prinsip khusus.  Tunanetra: (1) Prinsip kekonkritan. Anak tunanetra belajar terutama melalui pendengaran dan peradaban. Bagi mereka,untuk mengerti dunia sekelilingnya harus bekerja dengan benda-benda konkrit yang dapat diraba dan dapat dimanipulasikan. Melalui observasi peradaban benda-benda rill, dalam tempatnya yang alamiah, mereka dapat memahami bentuk, ukuran, berat, kekerasan, sifat-sifat permukaan, kelenturan, suhu, dan sebagainya. Dengan menyadari kondisi seperti ini, maka dalam proses belajar-mengajar guru dituntut semaksimal mungkin dapat menggunakan benda-benda konkrit (baik asli maupun tiruan) sebagai alat Bantu atau media dan sumber belajar dalam upaya pencapaian tujuan pembelajaran; (2) Prinsip Pengalaman yang Menyatu. Pengalaman visual cenderung menyatukan informasi. Seorang anak normal yang masuk ke toko, tidak saja dapat melihat rak-rak dan benda-benda rill. Tetapi juga dalam sekejap mampu melihat hubungan antara rak-rak dengan benda-benda di ruangan. Anak tunanetra tidak mengerti hubungan-hubungan ini kecuali jika guru menyajikannya dengan mengajar anak untuk mengalami suasana tersebut secara nyata dan menerangkan hubungan-hubungan tersebut.

Sapon Sheven  mengemukakan lima profil pembelajaran di sekolah inklusi, yaitu: (1) pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multimodalitas; (2) mengajar kelas yang heterogen memerlukan perubahan pelaksanaan kurikulum secara mendasar. Pembelajaran di kelas inklusi akan bergeser dari pendekatan pembelajaran kompetitif yang kaku, mengacu materi tertentu, ke pendekatan pembelajaran kooperatif yang melibatkanb kerjasama antarsiswa, dan bahan belajar tematik; (3) pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru mengajar secara interaktif. Model kelas tradisional dimana seorang guru secara sendirian berjuang untuk dapat memenuhi kebutuhan semua anak dikelas harus bergeser dengan model antarsiswa saling bekerjasama, saling mengajar dan belajar, dan secara aktif saling berpartisipasi dan bertanggungjawab terhadap pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya; (4) pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusi adalah pengajaran dengan Tim, kolaborasi dan konsultasi, dan berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan, dan bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. Kerjasama antara guru dengan profesi lain dalam suatu TIM sangat diperlukan, seperti dengan para profesional, ahli bina bicara, petugas bimbingan, dan guru pembimbing khusus; (5) pendidikan inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan. Keberhasilan pendidikan  inklusi sangat bergantung kepada partisipatif aktif dari orang tua pada anaknya, misalnya keterlibatan mereka dalam penyusunan program pengajaran individual (PPI) dan bantuan dalam belajar di rumah.

Selain guru juga kultur baru perlu dibentuk,  kebutuhan fasilitas dan lingkungan belajar yang memadai yang dapat diakses oleh semua anak, tidak ada diskriminatif. Namun demikian perlu ada batas-batas tertentu dalam program inklusiff ini, karena tentu inklusif ini tidak dalam pengertian seluruh anak  berkebutuhan khusus dapat diakomodasi, misalnya anak-anak dengan tingkat kecerdasan  amat rendah (Idiot), sulit digabung  dalam kelas normal, sehingga tetap ditempatkan pada kelas khusus.

III.    Kesimpulan

Mengacu tataran normatif dan kebijakan nasional, maka pendidikan inklusif merupakan keniscayaan dan sekaligus sebagai konsekuensi dari penerapan HAM di Indonesia, karena  anak berkebutuhan khusus  memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang dapat membentuk karakter warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab, oleh karenanya mereka tidak boleh terisolasi dengan teman sebayanya.

Semua komponen pendukung dan penentu  keberhasilan  pembelajaran di kelas (guru, sarana dan prasarana belajar) perlu dipersiapkan  dan dikondisikan  agar ABK tidak diperlakukan diskriminatif. Efektivitas keberhasilan program pembelajaran pada program pendidikan inklusif ini sangat ditentukan oleh dukungan semua pihak termasuk keselarasan pandangan terhadap  ABK, antara pemerintah, guru dan masyarakat .

Pendidikan adalah untuk semua warga negara, tidak pandang bulu, termasuk anak   berkebutuhan khusus. Mereka perlu diperlakukan sesuai dengan kebutuhanya dan mampu bersoisialisasi dengan teman sebayanya. Dengan demikian maka  harus menjadi concern dan policy pemerintah, agar kendala-kendala di lapangan dapat diminimalisir.

Selanjutnya perlu ada keselarasan pemahaman antara orang tua di rumah , masyarakat,  guru di kelas dan pengambil kebijakan (Pemerintah) baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabuten/ Kota dalam memandang dan memperlakukan serta melayani anak-anak berkebutuhan khusus, di samping itu akses anak-anak berkebutuhan khusus harus sama dengan anak normal. Hal ini berimplikasi  pada penyiapan sarana dan prasarana Sekolah yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Deporter Bobbi & Hernacki Mike, Quantum Learning. New York. Dell Publishing, 1992.

Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Terpadu; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. 2004.

——————–, Alat Identfikasi Anak Berkebutuhan khusus; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. 2004.

——————–, Pengembangan Kurikulum; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. 2004.

——————–, Pengadaan dan Pembinaan Tenaga Kependidikan; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. 2004.

——————–, Pengadaan dan Pengelolaan Sarana dan Prasarana; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. 2004.

——————–, Kegiatan Belajar Mengajar; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. 2004.

——————–, Manajemen Sekolah; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. 2004.

——————–, Pemberdayaan Masyarakat; Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. 2004.

Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa,

1998, P. 98.

Dryden Gordon & Jeannette Vos, The Learning  Revolution,  Penyunting Ahmad

Baiquni, Bandung: Kaifa, 2004.

H.A R. Tilaar Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta 2004.

Munandar, S.C. Utami.   Mengembangkan bakat dan kreativitas anak

sekolah. Jakarta : Grasindo, 1992

Stephen P. Robbins, Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications (New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1998), p. 82.

Semiawan, Conny R.  Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia

Dini., Jakarta : PT Prenhallindo, 2002.

Soedijarto. “Kurikulum dan Sistem Evaluasi Pendidikan Sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan Sistem Pengajaran Nasional, Diskusi Panel Rakernas ISPI, tanggal 21 Januari 2004.

Suparman, Atwi. Desain Instruksional. Jakarta : PAU-PPAI  Universitas Terbuka, 1997.

Pikiran Rakyat, Tuntutan Guru Dalam Pendidikan Inklusi, Bandung. 21, 9, 2005.

Tight, Malcolm (200). Key Concepts in Adult Education and Training 2nd Edition, London & New York: RoutledgeFalmer.


Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional

PP. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan


[1] H.A R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional. (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), p. 15.

[2] H.A R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan (pengantar pedagogik tranformatif untuk Indonesia), (Jakarta:PT. Grasindo, 2002),p. 474.

[3] Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

[4] PP. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

[5] Direktorat Pendidikan Luar Biasa,  Mengenal Pendidikan Terpadu,  Direktorat Jendral Pendidikan

Dasar dan Menengah, Depdiknas, 2004),  P. v.

[6] Direktorat Pendidikan Luar Biasa,  Alat identifikasi Anak Berkebutuhan Khusus,  (Direktorat Jendral

Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas, 2004),  P. 52-53.

[7] Staub dan Peeck (1995) dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa,  Mengenal Pendidikan Terpadu,  Direktorat

Jendral Pendidikan    Dasar dan Menengah, Depdiknas, 2004),  P. v.

[8] Direktorat Pendidikan Luar Biasa, op.cit, p. v.

[9] Direktorat Pendidikan Luar Biasa, op.cit, p. v.

[10] Sunardi, 1997 dalam Direktorat Pendidikan Luar Biasa,  Mengenal Pendidikan Terpadu,  Direktorat Jendral

Pendidikan    Dasar dan Menengah, Depdiknas, 2004),  pp. 17-20.

[11] Direktorat Pendidikan Luar Biasa, op.cit, pp.4-7.

[12] Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusif , (Direktorat

Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah,   Depdiknas, 2004),  P. 5.

[13] Stephen P. Robbins, Organizational Behavior: Concepts, Controversies, Applications (New Jersey: Prentice Hall, Inc., 1998), p. 82.

[14] Munandar, S.C. Utami.   Mengembangkan bakat dan kreativitas anak

sekolah. (Jakarta : Grasindo, 1992), P.17.

[15] Dedi Supriadi, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 1998), P. 98.

[16] Gordon Dryden dan Jeannette Vos, Revolusi  Cara Belajar , (Bandung: Kaifa, 2004), p.  1

[17] Direktorat Pendidikan Luar Biasa, Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu/Inklusif , (Direktorat

Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah,   Depdiknas, 2004),  pp.5-17.

[18] Soedijarto, “Kurikulum dan Sistem Evaluasi Pendidikan Sebagai Unsur Strategis dalam Penyelenggaraan  Sistem Pengajaran Nasional, Diskusi Panel Rakernas ISPI, tanggal 21 Januari 2004.

[19] Tight, Malcolm, Key Concepts in Adult Education and Training 2nd Edition, ( London & New York: RoutledgeFalmer, 2002), p. 24.

[20] Ibid, p. 25-27.

[21] Suparman, Atwi.   Desain Instruksional. Jakarta : PAU-PPAI , 1997,  Universitas Terbuka.

[22] Direktorat Pendidikan Luar Biasa,  Mengenal Pendidikan Terpadu,  Direktorat Jendral Pendidikan

Dasar dan Menengah, Depdiknas, 2004),  P. v.

1 responses to “DEMOKRATISASI PENDIDIKAN

Tinggalkan Balasan ke animarlina Batalkan balasan